BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibnu Taimiyah adalah ahli fikih mazhab Hambali. Pengaruh pemikirannya sangat besar terhadap gerakan Wahhabi, dakwah gerakan Sanusi, dan kelompok-kelompok agama yang ekstrem yang ada di dunia Islam saat ini.
Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada banyak “kata” yang seringkali dianggap saling berbenturan dan membentuk sebuah efek paradoksal. “Kata” itu bisa saja mewakili sebuah kelompok pemikiran (firqah), seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu. Dan selain itu adapun pemikiran-pemikiran ekonomi seperti tentang mekanisme pasar, harga yang adil, dan regulasi harga. Pemikiran ekonomi Ibn Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, diantaranya Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar –Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Ibnu Taimiyah?
2. Apa saja Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Biografi Ibnu Taimiyah.
2. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Ibnu taimiyyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir dikota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul awwal 661 H). ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Berkat kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika dan filsafat, serta menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantarannya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-khoir, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al- Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan publik. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga dimedan perang.
Penghormatan yang lebih besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
B. Pemikiran Ekonomi
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
1. Harga yang Adil, Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga
a. Harga yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Quran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw. menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga adil telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini, budak tersebut menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah kompensasi dengan hara yang adil (qimah al-adl).
Secara umum, para fuqoha ini berfikir bahwa harga yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek yang serupa. Oleh karena itu, mereka lebih mengenalnya sebagai harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensas yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa kasus berikut:
(a). Ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan orang lain atau merusak harta dan keuntungan.
(b). Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang lain.
(c). Ketika seseorang diminta untuk menentukan akad yang rusak (al-‘ukud al-fasidah) dan akad yang shahih (al-uqud al-shahihah) dalam suatu peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak milik.
Prinsip umum yang sama berlaku pada pembayaran iuran kompensasi lainnya. Misalnya :
(a) . Hadiah yang diberikan oleh gubernur kepada orang-orang Muslim, anak-anak yatim dan wakaf.
(b). Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi wakil untuk melakukan pembayaran kompensasi.
(c). Pemberian upah oleh atau kepada rekan bisnis (al-musyarik wa al-mudharib)
Konsep Upah yang Adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl).
Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduannya tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
Upah yang secara teratur dengan menggunakan aturan yang sama dengan harga yang setara. Tingkat upah ditentukan oleh tawar-menawar antara pekerja dengan pemberi kerja. Dengan kata lain, pekerja diperlukan sebagai barang dagangan yang harus tunduk pada hukum ekonomi tentang permintaan dan penawaran. Dalam kasus pasar yang tidak sempurna, upah yang setara ditentukan dengan menggunakan cara yang sama sebagai harga yang setara. Sebagai contoh, apabila masyarakat sedang membutuhkan jasa para pekerja, tetapi para pekerja tersebut tidak ingin memberikan jasa mereka, dalam kasus ini, penguasa dapat menetapkan harga yang setara, sehingga pihak pemberi kerja tidak dapat mengurangi upah para pekerja dan begitu pula para pekerja tidak dapat meminta upah yang lebih tinggi daripada harga yang telah ditetapkan.
Konsep Laba yang Adil
Ibnu taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan motivasi para pedagang. Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum (al-ribh al ma’ruf) tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain. Ia menentang keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksploitatif (gaban fahisy) dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada (mustarsil).
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw., Ibn Taimiyah melarang penjualan yang dilakukan kepada orang miskin dengan cara mengeksploitasi keadaannya. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa penjual harus tetap menjual dengan harga yang dapat diterima secara umum apabila pembelinya adalah seorang yang sangat membutuhkan barang-barang kebutuhan dasar, seperti makanan dan pakaian. Dengan kata lain, orang-orang miskin diperkenankan membeli barang-barang tersebut dengan harga secara umum dapat diterima dan seharusnya tidak membayar lebih besar daripada harga tersebut.
Pernyataan Ibn Taimiyah tersebut tidak berarti bahwa setiap orang dapat mengambil barang-barang yang dibutuhkan dan melempar begitu saja hak penetapan harga pada penjual. Dalam hal ini, yang ia maksudkan adalah setiap orang dapat meminta regulasi harga dari pemerintah dan pemerintah harus menggunakan kekuasaannya. Dari pernyataan tersebut, juga tersirat bahwa Ibn Taimiyahb memandang laba sebagai peciptaan tenaga kerja dan modal secara bersamaan.
Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil Bagi Masyarakat
Tujuan utama dari harga yang adil dan berbagai permasalahan lain yang terkait adalah untuk menegakan keadilan dalam bertransaksi pertukaran dan berbagai hubungan lainnya di antara anggota masyarakat. Kedua konsep ini juga dimaksudkan sebagai panduan bagi para penguasa untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan eksploitatif. Dengan kata lain, pada hakikatnya konsep ini akan lebih memudahkan bagi masyarakat dalam mempertemukan kewajiban moral dengan kewajiban finansial.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, adil bagi para pedagang berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilangkan keuntungan normal mereka. Menurutnya, “setiap individu mempunyai hak pada apa yang mereka miliki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin dan persetujuan mereka.” [1]
Disisi lain, Ibn Taimiyah mengingatkan kepada para pembeli agar tidak menolak harga yang adil sebagai hasil interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi secara alamiah.
Penggunaan dan implikasi dari konsep upah adil adalah saama halnya dengan konsep harga yang adil. Tujuan dasar dari harga yang adil adalah melindungi kepentingan pekerja dan majikan serta melindungi mereka dari aksi saling mengeksploitasi. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah menyatakan, “Apabila seorang majikan mempekerjakan seorang secara zalim dengan membayar pada tingkat upah yang lebih rendah daripada upah yang adil, yang secara normal tidak ada seorang pun yang dapat menerimanya, pekerja berhak meminta upah yang adil.
b. Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber persedian, yakni produksi lokal dan impor barang-barang yang diminta (mayukhlaq aw yujlab Min dzalik al~mal al~matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap suatu barang tertentu, ia menggunakan istilah raghbah fial-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor terpenting dalam permintaan. Faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah perubahan dalam supply digambarkanya sebagai kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang yang di sebabkan oleh dua faktor, yakni produksi lokal dan impor.
Pernyataan Ibn Taimiyah diatas menunjuk pada apa yang kita kenal sekarang sebagai perubahan fungsi penawaran dan permintaan, yakni ketika terjadi peningkatan permintaan pada harga yang sama dan penurunan persediaan pada harga yang sama atau sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan persediaan yang disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga dipastikan akan mengalami kenaikan, dan begitu pula sebaliknya.
Namun demikian, kedua perubahan tersebut tidak selamanya beriringan. Ketika permintaan meningkat sementara persediaan tetap, harga-harga akan mengalami kenaikan. Ibn Taimiyah menjelaskan, “Apabila orang-orang menjual barang dengannya dengan cara yang dapat diterima secara umum tanpa disertai dengan kezaliman dan harga-harga mengalami kenaikan sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah barang, atau peningkatan jumlah penduduk, hal ini disebabkan oleh Allah Swt.”[2]
Dalam pernyataan tersebut, Ibn Taimiyah menyebut kenaikan harga terjadi karena penurunan jumlah barang atau peningkatan jumlah penduduk. Penurunan jumlah barang dapat disebut juga sebagai penurunan persediaan, sedangkan peningkatan jumlah penduduk dapat disebut juga sebagai kenaikan permintaan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan Tingkat Harga Menurut Ibn Taimiyah
Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan yang rinci tentang beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan tingkat harga. Berikut faktor-faktor tersebut:
1. Permintaan masyarakat (al-ragabah) yang sangat bervariasi (people’s desire) terhadap barang.
Faktor ini tergantung pada jumlah barang yang tersedia (al-matlub). Suatu barang akan semakin disukai jika jumlahnya relatif kecil (scarce) daripada yang banyak jumlahnya.
2. Tergantung kepada jumlah orang yang membutuhkan barang (demander/consumer/tullab).
Semakin banyak jumlah peminatnya, semakin tinggi nilai suatu barang.
3. Harga juga dipengaruhi oleh kuat lemahnya kebutuhan terhadap suatu barang, selain juga besar dan kecilnya permintaan. Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi jika dibandingkan dengan jika kebutuhannya lemah dan sedikit.
4. Harga juga akan bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-mu’awid). Jika pembeli merupakan orang kaya dan terpercaya (kredibel) dalam membayar kewajibannya, maka kemungkinan ia akan memperoleh tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak kredibel (suka menunda kewajiban atau mengingkarinya).
5. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis uang yang digunakan sebagai alat pembayaran. Jika menggunakan jenis mata uang yang umum dipakai, maka kemungkinan harga relatif lebih rendah jika dibandingakan dengan menggunakan mata uang yang tidak umum atau kurang diterima secara luas.
6. Hal di atas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaksi haruslah menguntungkan penjual dan pembeli. Jika pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih mudah atau lancar dibandingkan dengan jika pembeli tidak memiliki kemampuan membayar dan mengingkari janjinya. Tingkat kemampuan dan kredibilitas pembeli berbeda-beda. Hal ini berlaku bagi pembeli maupun penjualnya, penyewa dan yang menyewakan, dan siapa pun juga. Obyek dari suatu transaksi terkadang (secara fisik) nyata atau juga tidak nyata. Tingkat harga barang yang lebih nyata (secara fisik) akan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak nyata. Hal yang sama dapat diterapkan untuk pembeli yang kadang-kadang dapat membayar karena memiliki uang, tetapi kadang-kadang mereka tidak memiliki uang cash dan ingin meminjam. Harga pada kasus yang pertama kemungkinan lebih rendah daripada yang kedua.
7. Kasus yang sama dapat diterapkan pada orang yang menyewakan suatu barang. Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa, sehingga penyewa dapat memperoleh manfaat dengan tanpa tambahan biaya apapun. Akan tetapi, kadang-kadang penyewa tidak dapat memperoleh manfaat ini jika tanpa tambahan biaya, seperti yang terjadi di desa yang dikuasai penindas atau oleh perampok, atau di suatu tempat diganggu oleh binatang-binatang pemangsa. Sebenarnya, harga sewa tanah seperti itu tidaklah sama dengan harga tanah yang tidak membutuhkan biaya-biaya tambahan ini.
c. Regulasi harga
Setelah menguraikan secara panjang lebar tentang konsep harga yang adil dan mekanisme pasar, Ibnu Taimiyah melanjutkan pembahasan dengan pemaparan secara detail mengenai konsep kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah. seperti yang akan terlihat, tujuan regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.
1). Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah
merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidaksempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`) menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya
monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.[3]
Walaupun menentang keras praktik monopoli, Ibn Taimiyah mempersilahkan orang-orang membeli barang-barang dari para pelaku monopoli karena jika hal ini dilarang, masyarakat akan semakin menderita. Oleh karena itu pula, ia semakin mendorong pemerintah agar segera melakukan penetapan harga.
Ibnu Taimiyah melarang para pedagang dan pembeli membuat perjanjian untuk menjual barang pada harga yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga dapat memperoleh harga yang lebih rendah, sebuah kasus yang menyerupai monopsoni.ia juga melarang diskriminasi harga terhadap pembeli atau penjual yang tidak mengetahui harga yang sebenarnya di pasar.
2) Musyawarah untuk Menetapkan Harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait.
Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan dengan menciptakan rasa tanggung jawab moral serta dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang telah disinggung jasa mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para majikan dan para pekerja dari aksi saling mengeksploitasi diantara mereka.
2. Uang dan Kebijakan Moneter
a. Karakteristik dan Fungsi Uang
Fungsi utama uang dalam pandangan Ibnu Taimiyah adalah sebagai nilai ukur (measurement of value) dan media pertukaran (medium of exchange). Uang menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain, sehingga uang tidak bisa dijadikan komoditi. Uang berfungsi sebagai media pertukaran, sehingga tidak bisa dijadikan perdagangan karena bertentangan dengan tujuan pembuatan uang itu sendiri. Jika uang harus ditukar dengan uang, maka pertukaran tersebut harus lengkap (taqabud) dan tanpa ada jeda (hulul). Jika dua orang saling bertukar uang, yang salah satu di antara mereka membayar dengan kontan sementara yang lain berjanji akan membayarnya nanti, maka orang pertama tidak dapat menggunakan uang yang dijanjikan dalam transaksi tersebut sampai ia benar-benar dibayar. Hal ini menyebabkan orang pertama kehilangan kesempatan menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Itulah alasan Ibnu Taimiyah ketika menentang jual beli uang
b. Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat banyak. Ia menyatakan, “Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.”
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Taimiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlah mata uang, total volume transaksi dan tingkat harga. Pernyataannya tentang volume fulus harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi adalah untuk menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang, misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di pasar sehingga tdak seorang pun, termasuk penguasa, dapat mengambil untung dengan melebur uang tersebut dan menjual dalam bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang.
Ibn Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak melopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga serta mencetaknya menjadi mata uang dan kemudian berbisnis dengannya. Ia juga menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang berada di tangan masyarakat. Ibnu Taimiyah meminta pihak penguasa agar tidak melakukan monetisasi terhadap mata uang yang sedang berada di tangan masyarakat. Menurutnya, apabila diperlukan, penguasa dapat mencetak mata uang yang lebih banyak sesuai dengan nilai rilnya, tanpa mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Secara khusus, ia menentukan bahwa biaya setiap pencetakan mata uang harus diambil dari perbendaharaan Negara (Baitul Mal). Ia menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar daripada nilai instrinsiknya dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari masyarakat, akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta menghasilkan inflasi dan pemalsuan mata uang. Ia menganggap perdagangan mata uang sebagai bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum.
c. Mata Uang yang Buruk Akan Menyngkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut:
“Apabila penguasa membatalkan pengggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilanhkan nlai tinggi yang semuka mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrisik mata uang tersebut berbeda, hal iniakan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarnya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawannya kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa lagi kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.
BAB III
KESIMPULAN
ü Ibnu taimiyyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir dikota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul awwal 661 H.
ü Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
ü Pemikiran ekonomi ibnu Taimiyah yaitu mengenai:
1. Harga yang adil, Mekanisme pasar, dan Regulasi harga
2. Uang dan kebijakan moneter
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, 2001 Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Abul Hasan Ali An-Nadawi. 1995 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Solo: CV. Pustaka Mantiq.
Husayn Ahmad Amin. 1999 Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jamil Ahmad Al-Islam, 2004 Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia.
Karim, Adiwarman A. 2004 Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Karim, Adiwarman A. 2001 Ekonomi Islam suatu kajian kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Husayn Ahmad Amin. 1999 Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
http://ibnujusup.multiply.com/journal/item/17/SOSOK_DAN_PEMIKIRAN_IBN_TAIMIYAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar