KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat kepada makhluk yang ada di alam semesta ini. Berkat qudrat, iradat serta izin-Nyalah penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Mudharabah dalam perbankan syariah”
Shalawat serta salam mudah-mudahan dilimpahkan kepada khotamul-anbiya, nabi Muhammad SAW, yang telah menyelamatkan umat manusia dari gelapnya kejahiliyaan kepada cahaya illahiyah yang terang benderang.
Rahmat serta barokah mudah-mudahan dicurahkan kepada ummat islam sebagai khoerul-ummah dan juga sebagai pelanjut perjuangan risalah Rasulullah SAW.
Tak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada dosen matakuliah ilmu fiqih yang telah memberikan gambaran demi tersusunnya makalah ini.
Harapan bagi penulis semoga apa yang sudah disuguhkan dapat bermanfaat bagi semua orang khususnya saya sendiri sebagai penulis. Walaupun jauh dari kesempurnaan tapi semoga mendekati pada kebenaran. Semoga Allah SWT selalu ridha dengan apa yang kita lakukan. Amin.
Bandung, April 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ketika bank syariah pertama kali berkembang, baik di tanah air maupun mancanegara, sering kali dikatakan bahwa bank syariah adalah bank bagi hasil. Hal ini dilakukan untuk membedakan bank syariah dengan bank konvensional yang beroprasi dengan system bunga. Hal itu betul, tetapi tidak sepenuhnya benar. Karena sesungguhnya bagi hasil itu hanya merupakan bagian saja dari system operasi bank syariah. Bagi hasil adalah bentuk return dari kontrak investasi, yakni yang termasuk ke dalam natural uncertainty contracts. System bagi hasil sudah pasti merupakan salah satu praktik perbankan syariah. Namun sebaliknya, praktik perbankan syariah belum tentu seluruhnya menggunakan system bagi hasil, masih ada system jual- beli dan sewa-menyewa yang juga digunakan dalam system operasi bank syariah.
Penjelasan di atas perlu ditegaskan untuk meluruskan pemahaman dan presepsi masyarakat, bahwa bank syariah hanya terbatas pada system bagi hasil. Sebenarnya tidak demikian. Bank syariah mempunyai ruang gerak yang lebih luas lagi daripada system bagi hasil. Bank syariah juga dapat menerapkan system jual beli dan sewa-menyewa, di samping tentunya system bagi hasil. Dengan banyaknya alternatitif yang terbuka ini, maka diharapkan penerapan praktek bank syariah dapat menjadi lebih fleksibel dan sesuai dengan konteks, kebutuhan dan keadaan spesifik yang dihadapi di lapangan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian mudharabah?
2. Apa dasar hukum mudharabah?
3. Apa rukun dan syarat mudharabah?
4. Bagaimana kedudukan mudharabah?
5. Bagaimana biaya pengelolaan mudharabah?
6. Bagaimana tindakan setelah matinya pemilik modal dan pembatalan mudharabah?
7. Bagaimana penerapan mudharabah dalam perbankan syariah?
8. Apa saja bentuk-bentuk mudharabah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah bahasa penduduk irak dan qiradh atau muqaradhah bahasa penduduk hijaz. Mudharabah menurut bahasa adalah berjalan atau bepergian. Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
1. Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah di tentukan.
2. Menurut hanfiyah, mudharabah ialah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikatdalam keuntungan, karena harta diserahkan kepada yang lain, dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Maka mudharabah ialah “Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.”
3. Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah ialah, “Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang di tentukan (mas dan perak).”
4. Imam hanabilah berpendapat bahwa mudharabah ialah, “ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu keapada orang yang berdagang denagn bagian dari keuntungan yang diketahui.”
5. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah, “Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.”
6. Al-Bakri Ibn al-Arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa mudharabah ialah, “seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan di dalamnya diteriam penggantian.”
7. Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah “akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.
B. Dasar Hukum Mudharabah
Melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya ialah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a., bahwasanya Rasulullah Saw. Telah bersabda:
“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan: “harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa kelaut, dan jangan dibawa menyebrangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggungjawab pada hartaku.”
Dalam al-Muwaththa’Imam Malik, dari al-A’la Ibn Abd al-Rahman Ibn Ya’qub, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan harta Utsman r.a. sedangkan keuntungannya dibagi dua.
Qiradh atau mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau tahu dan mengakuinya, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang milik Khadijah r.a., yang kemudian menjadi menjadi istri beliau.
C. Rukun dan syarat Mudharabah
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:
1. Pelaku (pemilik modal)
Pelaku. Jelaslah bahwa rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad jual-beli ditambah satu factor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Factor pertama pelaku kiranya sudah cukup jelas. Dalam akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak ada.
2. Objek mudharabah.
Merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modak menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian.
Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Ia harus uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal mudharabah. Namun para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dari nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.
3. Persetujuan.
Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkonstribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkonstribusikan kerja.
4. Nisbah keuntungan.
Rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan. Adapun nisbah keuntungan adalah sebagai berikiut:
1. Prosentase
Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu.
2. Bagi untung dan bagi rugi.
Ketentuan diatas merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong kedalam kontrak investasi. Dalam kontrak ini, return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sector riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian kecil juga. Filosofi ini hanya berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk propontase.
Bagaimana halnya bila bisnis itu alih-alih untung, tetapi malah merugi? Apakah pembagian kerugian juga ditentukan berdasarkan nisbah? Jawabannya tidak. Bila bisnis dalam akad mudharabah ini mendatangkan kerugian, pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Itulah alas an mengapa nisbahnya disebut sebagai nisbah keuntungan, bukan nisbah saja, yakni karena nisbah 50:50 atau 99:1 itu, hanya diterapkan bila bisnisnya untung. Bila bisnis rugi, kerugiannya itu harus dibagi beerdasarkan porsi modal masing-masing pihak, bukan berdasarkan nisbah.
Mengapa terjadi perbedaan ini? Mengapa kalau untung, pembagian berdasarkan nisbah, sedangkan kalau rugi pembagian berdasarkan proporsi modal? Jawabannya adalah karena ada perbedaan kemampuan untuk menanggung kerugian di antara kedua belah pihak. Bila untung, tidak ada masalah untuk menikmati untung. Karena sebesar apapun keuntungan yang terjadi, kedua belah pihak akan selalu dapat menikmati keuntungan itu. Lain halnya kalau bisnisnya merugi. Kemampuan shahib al-mal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal, dank arena proporsi modal shahib al-mal dalam kontrak ini adalah 100% maka kerugian ditanggung 100% pula oleh shahib al-mal. Dilain pihak, karena proporsi modal mudharib dalam kontrak ini adalah 0%, andaikata terjadi kerugian, mudharib akan menanggung kerugian 0% juga.
Mengapa terdengar tidak adil? Mengapa shahib al-amal harus menaggung kerugian 100% sementara mudharib tidaka harus menanggung kerugian apa pun? Sebenarnya salah kalau kita menyatakan bahwa mudharib tidak menanggung kerugian apa pun. Bila bismis rugi, sesungguhnys mudharib akan menanggung kerugian hilangnya kerja, usaha dan waktu yang telah ia curahkan untuk menjalankan bisnis. Jadi, sebenarnya kedua belah pihak sama-sama menanggung kerugian, tetapi bentuk kerugian yang ditanggung oleh keduanya berbeda, sesuai dengan objek mudharabah yang dikonstribusikannya. Bila yang dikonstribusikan adalah uang, resikoya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya dengan tidak mendapatkan hasil apa pun atas jerih payahnya selama berbisnis.
3. Jaminan. Namun demikian, ketentuan pembagian kerugian hanya berlaku bila kerugian yang terjadi hanya murni diakibatkan oleh risiko bisnis, bukan karena risiko karakter buruk mudharib. Bila kerugian terjadi karena karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai dan atau melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, maka shahib al-mal tidak perlu menaggung kerugian seperti ini.
Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah lainnya.
Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya menjadi wakil dari shahibul mal dalam mengelola dana dengan seizin shahibul mal, sehingga wajiblah baginya berlaku amanah. Jika mudharib melakukan kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana, yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan, dan kelewatan dalam perilakunya yang tidak termasuk bisnis mudharabah yang disepakati, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggungjawab nya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zalim karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya diluar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri dalam mengambil bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan shahibul mal sehingga shahibul mal dirugikan.
Untuk menghindari adanya moral hazard dari pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka shahib al-mal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahib al-mal jika ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan kesalahan, yakni lalai atau ingkar janji. Jadi tujuan pengenaa jaminan dalam akad mudharabah adalah untuk menghindari moral hazard mudharib, bukan untuk “mengamankan” nilai investasi kita jika terjadi kerugian karena faktor risiko bisnis. Tegasnya, bila kerugian yang timbul disebabkan karena faktor risiko bisnsi, jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahib al-mal.
4. Menentukan besarnya nisbah. Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar-menawar antara shahib al-mal dengan mudharib.
Dalam praktiknya di perbankan modern, tawar-menawar nisbah antara pemilik modal dengan bank syariah hanya terjadi bagi deposan/investor dengan jumlah besar, karena mereka ini memiliki daya tawar yang relatif tinggi. Kondisi ini disebut special nisbah. Sedangkan deposan untuk nasabah kecil, biasanya tawar- menawar tidak terjadi. Bank syariah hanya akan mencantumkan nisbah yang ditawarkan, setelah itu deposan boleh setuju boleh tidak. Bila setuju maka ia akan melanjutkan menabung. Bila tidak setuju, ia diperselisihkan menjadi bank syariah lain yang menawarkan nisbah yang lebih menarik.
Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikannya adalah:
a. a. Diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan perlindungan modal.
b. Bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari pokok modal.
Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan Kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.
Ada pun syarat-syarat syah mudharabah:
1. Barang atau modal yang diserahkan itu berbentuk uang tunai, maka apabila barang itu berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut adalah batal.
2. Bagi yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, oerang gila dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
3. Modal harus diketahui dengan jelas, agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
4. Keuntungan yang akan menjadi pemilik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga atau seperempat.
5. Melafazhkan ijab dari yang punya modal, seperti aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang, jika ada keuntungan akan dibagi dua dan Kabul dari pengelola.
6. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di Negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak, karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan –persyaratan , maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid).
D. Kedudukan Mudharabah
Hukum mudharabah berbeda-beda, karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan, maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung kepada keadaan.
Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal adalah wakil dari pemilik barang tersebut dalam pengelolaannya, maka kedudukan modal adalah sebagai wikalah ‘alaih (obyek wakalah)
Karena harta ditasharrufkan oleh pengelola, maka harta tersebut berada di bawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya, maka harta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan), maka apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak wajib menggantinya, bila kerusakan timbul karena kelalaian pengelola, maka ia wajib menanggungnya.
Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak, bila ada keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati, karena bersama-sama dalam keuntungan, maka mudharabah juga sebagai syirkah.
Ditinjau dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta, maka pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, maka mudharabah dianggap sebagai ijarah (sewa-menyeawa)
Apabila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah, bila terjadi kecacatan maka pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab, ghasab adalah min al-kabair.
E. Biaya Pengelolaan Mudharabah
Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri, selama ia tinggal dilingkungan sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudhrabah, bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan, karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.
Namun jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharabah Imam Malik berpendapat bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya cukup besar, sehingga masih memungkinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.
Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengeloaan mudharabah pada dasarnya dibebankan kepada pengelola modal, namun tidak mengapa biaya diambil dari keuntungan, apabila pemilik modal mengizinkanya atau berlaku menurut kebiasaan. Menurut Imam Malik menggunakan modal pun boleh, apabila modalnya besar, sehingga memungkinkan memperoleh keuntungan berikutnya.
F. Tindakan Setelah Matinya Pemilik Modal
Jika pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi fasakh, bila mudharabah telah fasakh, maka pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin para ahli waris, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab. Ia wajib menjamin (mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi dua.
Jika mudharabah telah fasakh (batal), sedangkan modal berbentuk ‘urud (barang dagangan), maka pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya, karena yang demikian itu adalah hak berdua, jika pelaksana (pengelola modal) setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, pemilik modal dipaksa untuk menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian menurut pendapat madzhab Syafi’I dan Hanbali.
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:
1. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian, maka kerugian tersebut menjadi tanggungjawab pemilik modal, karena pengelola adalah sebagai buruh, yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggungjawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.
2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggungjawab jika terjadi kerugian, karena dialah penyebab kerugian.
3. Apabila pelaksana atau pemilik modal meniggal dunia, atau salah seorang pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi batal.
G. Penerapan Mudharabah Dalam Perbankan Syariah
Sejauh ini, skema mudharabah yang telah kita bahas adalah skema yang berlaku antara dua pihak saja secara langsung, yakni shahib al-mal berhubungan langsung dengan mudharib. Skema ini adalah skema standar yang dapat dijumpai dalam kitab-kitab klasik fiqih islam. Dan inilah sesungguhnya praktik mudharabah yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah investasi langsung antara shahib al-mal dengan mudharib.
Mudharabah klasik seperti ini memiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-mal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya. Shahib al-mal hanya menyerahkan modalnya kepada orang yang ia kenal dengan baik.
Modus mudharabah seperti itu tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank, karena beberapa hal:
1. system kerja pada bank adalah investasi berkelompok, dimana mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinannya terjadi hubungan yang langsung dan personal.
2. banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratusan ribuan shahib al-mal untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu.
3. lemahnya disiplin terhadap ajaran islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkannya.
H. Bentuk-Bentuk Mudharabah
Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak di mana shahib al-mal tidak menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada si mudharib. Bentuk mudharabah ini disebut mudharabah mutlaqah. Namun demikian, apabila dipandang perlu, shahib al-mal boleh menetapkan batasan-batasan atau syarat-syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari risiko kerugian. Syarat-syarat ini harus di penuhi oleh mudharib. Apabila mudharib melanggar batasan-batasan ini, ia harus bertanggungjawab atas kerugian yang timbul. Jenis mudharabah seperti ini di sebut mudharabah muqayyadah.
Namun demikian, dalam praktik perbankan syariah modern, kini dikenal dua bentuk mudharabah muqayyabah, yakni yang on balance-sheet dan off balance-sheet, aliran dana terjadi dari satu nasabah investor dari sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sector terbatas, misalnya pertanian, manufaktur, dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor pertambangan, property dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan akad penjualan cicilan saja, atau penyewaan cicilan saja atau kerja sama usaha saja. Skema ini disebut on balance sheet karena dicatat dalam neraca bank.
Dalam mudharabah muqayyah off balance sheet, aliran dana berasal dari satu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan. Disini bank syariah bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksi di bank syariah dilakukan secara off balance sheet.
BAB III
KESIMPULAN
1. Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah di tentukan.
2. Dasar Hukum Mudharabah
Melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya ialah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a., bahwasanya Rasulullah Saw. Telah bersabda:
“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
3. Rukun-rukun mudharabah adalah: ada pelaku, objek mudharabah, persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul), nisbah keuntungan.
4. Kedudukan Mudharabah: Hukum mudharabah berbeda-beda, karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan, maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung kepada keadaan
5. Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri
6. Tindakan Setelah Matinya Pemilik Modal: Jika pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi fasakh, bila mudharabah telah fasakh, maka pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi.
Daftar Pustaka
Dzajuli. A, 2006. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Putra Grafika.
Edy Wibowo dan untung Hendy Widodo. 2005. Mengapa Memilih Bank Islam?. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia.
Karim, Adiwarman Azwar. 2004. Bank Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Karim, Adiwarman Azwar. 2001. Ekonomi IslamSuatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Rasjid, Sulaiman. 2008. Fiqh Islam. Jakarta: Sinar Baru Algensindo.
Suhendi, Hendi.1997. Fiqh Muamalah. Bandung: Gunung Djati Press.
Suhendi Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar